Nama : Fadlan Pramudito
NPM : 13213052
Kelas : 4EA17
PENDAHULUAN
Prinsip ekonomi menegaskan bahwa bisnis ‘yang baik’
adalah bisnis yang memberikan banyak untung. Karena semata-mata mengejar untung
(profiteering), perusahaan seringkali bertindak tidak etis. Agar
biaya produksi murah, ada perusahaan yang menggunakan tenaga kerja anak-anak,
memberlakukan jam kerja panjang dan gaji rendah, atau sistem kerja kontrak
untuk menghindari tunjangan dan pesangon. Demikian pula, untuk meningkatkan
penjualan, sejumlah perusahaan menerapkan cara-cara promosi yang tidak jujur.
Ada toko yang menggunakan strategi ‘bait and switch’ yaitu merangsang
calon pembeli dengan produk murah, yang sebenarnya tidak tersedia,
dan mendorong calon konsumen membeli produk lain dengan harga lebih
tinggi. Sejumlah ‘content provider’ telepon seluler menjebak konsumen
dengan sistem sedot pulsa otomatis, yang merampas pulsa konsumen tanpa bisa
menghentikannya.
Sebenarnya perilaku tidak etis juga sangat dekat dengan
lingkungan kita. Kita sering ‘dipaksa’ membeli permen sebagai ganti uang kembalian
saat kita berbelanja di toko. Saat kita membeli bensin, petugas SPBU seringkali
‘merampok’ selisih harga pembelian. Dengan alasan pembulatan, sejumlah rumah
sakit memaksa kita ‘mengikhlaskan’ membayar sekian ratus rupiah lebih tinggi
dari tagihan semestinya. Rupanya, perilaku koruptif sudah
menjangkiti hampir semua bidang kehidupan sosial ekonomi kita. Semuanya
dilandasi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya!
TEORI
Menurut Bertens (2000),
bisnis yang tidak melanggar hukum, belum tentu tidak melanggar moralitas. Etika
diperlukan untuk melengkapi hukum karena lima alasan: (a) hokum tidak mengatur segala sesuatu, (b) hukum sering kalah cepat dari
perkembangan bisnis; (c) hukum selalu memiliki
celah yang bisa disalahgunakan; (d)
hukum sering tidak ditegakkan; dan (e)
ketentuan hukum seringkali memiliki multi-tafsir. Buku Pedoman Prinsip dan
Penilaian Bisnis Beretika Berkelanjutan LOS DIY (2007) menyebutkan bahwa
ketaatan pada hukum atau peraturan hanyalah salah satu dari 8 indikator etika.
Bisnis yang beretika adalah bisnis yang taat pada peraturan atau hukum,
transparan, akuntabel, bertanggungjawab, wajar, jujur, berempati,
dan independen. Indikator ketaatan pada hukum dan aturan lebih mudah
diukur daripada ketujuh indikator lain. Masalahnya, bagaimana kita bisa
mengatakan suatu perusahaan telah bersikap jujur, wajar, dan bertanggungjawab?
Oleh karena itu, untuk
menilai apakah suatu bisnis itu etis atau tidak, Bertens (2000)
mengemukakan tiga tolok ukur etika bisnis: (a) hati nurani; (b)
empati; dan (c) audit sosial. Bisnis yang baik selalu didasarkan pada hati
nurani (yang baik). Hati nurani menuntun kita memilih yang baik, dan
menghindari yang buruk. Empati menuntun kita untuk memperlakukan orang lain
sama seperti kita ingin diperlakukan (empati). Ini sejalan dengan
pepatah bijak, “jangan mencubit orang lain bila kita tidak ingin dicubit”.
Audit sosial, atau penilaian oleh masyarakat, mensyaratkan bahwa suatu bisnis
disebut baik bila menurut pendapat umum adalah baik. Masihkah kita punya hati
nurani dan empati dan bisakah audit sosial berperan dalam pencegahan perilaku
tidak beretika? Mari kita tegakkan bersama! Supriyono
KASUS
Pada
rapatnya di bulan November 2011, Badan Pengawas Periklanan (BPP) P3I telah
menemukan satu kasus iklan Traditional Chinese Medication (TCM) yaitu iklan
Cang Jiang Clinic. BPP P3I saat itu menilai bahwa iklan tersebut berpotensi
melanggar Etika Pariwara Indonesia, khususnya terkait dengan: Bab III.A. No.2.10.3. (tentang Klinik, Poliklinik
dan Rumah Sakit) yang berbunyi: “Klinik, poliklinik, atau rumah sakit tidak
boleh mengiklankan promosi penjualan dalam bentuk apa pun” dan Bab III.A.
No.1.17.2. (tentang Kesaksian Konsumen) yang berbunyi: “Kesaksian konsumen
harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk
melebih-lebihkannya”.
Pada
iklan Cang Jiang Clinic tersebut ditampilkan pemberian diskon (30%) bagi
pembelian obat serta ditampilkan pula beberapa kesaksian konsumen mereka yang
sangat tendensius melebih-lebihkan kemampuan klinik tersebut serta bersifat
sangat provokatif yang cenderung menjatuhkan kredibilitas pengobatan
konvensional.
Untuk
memastikan adanya pelanggaran terseut, maka BPP P3I telah mengirimkan surat
kepada Persatuan Rumah-Sakit Indonesia (PERSI) dan mendapatkan jawaban bahwa
PERSI sependapat dengan BPP P3I sehingga pada bulan Maret 2012, BPP P3I telah
mengirimkan surat himbauan kepada KPI untuk menghentikan penayangan iklan
tersebut.
Masalah
Cang Jiang Clinic ini belum tuntas, ketika lalu muncul iklan Tong Fang Clinic
yang jauh lebih gencar (dan ditayangkan di lebih banyak stasiun televisi dan
dengan frekuensi yang jauh lebih sering).
Isi pesan iklannya sangat mirip dengan iklan Cang Jiang Clinic. BPP P3I
kemudian melayangkan surat himbauan yang senada kepada KPI pada bulan Juli 2012.
Sepanjang
bulan Juli 2012, iklan Tong Fang Clinic ternyata sangat ramai menjadi
pergunjingan masyarakat umum; baik melalui media-media sosial maupun pengiriman
SMS dan Blackberry Messenger. Bahkan, kata kunci “Tong Fang” sempat menjadi
topik yang paling sering disebut (‘trending topic’) di twitter, bukan saja di
area Indonesia, tapi di seluruh dunia (lintas.me, 6 Agustus 2012).
Dari
sudut ilmu komunikasi, bisa saja orang lalu menilai bahwa klinik tersebut telah
mendapatkan tingkat ‘awareness’ yang sangat tinggi. Hal tersebut memang
tidaklah dapat dibantah. Jutaan kicaun masyarakat tersebar di berbagai jenis
media terkait dengan iklan klinik tersebut. Tapi, mari kita coba lihat isi dari
beberapa kicauan tersebut (dikutip dari beberapa posting di twitter).
Ø Dulu
muka saya ada jerawat satu, seteleh ke klinik Tong Fang muka saya jd bnyak
jerawat.Trimakasih TongFang
Ø Dulu
pacar saya di rebut orang, namun setelah saya ke klinik TongFang sekarang saya
jd rebutan pacar orang, terima kasih TongFang
Ø Dulu
saya Raja Dangdut, setelah ke Klinik Tong Fang kini saya jadi Raja Singa.
Terima Kasih Tong Fang
Di
twitter juga muncul banyak akun baru yang sekedar bertujuan untuk mengakomodasi
lelucon tentang “Tong Fang”. Misalnya: akun @KlinikTongfang dengan 15.218
pengikut dan @KliinikTongFang dengan 61,091 pengikut (data pengikut/’follower’
terhitung tanggal 9 Agustus 2012) serta banyak akun lainnya. Padahal akun-akun
itu usianya belum lebih dari 2 bulan.
Apakah
kicauan masyarakat tersebut sebenarnya hanya sekedar ‘iseng’ dan semacam jadi
‘lomba kreatifitas’ mereka saja? Saya sangat percaya bahwa bukan itu
permasalahannya.
Tidak
perlu menjadi seorang pakar komunikasi untuk memahami bahwa dibalik
lelucon-lelucon yang dikreasikan oleh berbagai kalangan masyarakat, ada satu
pesan penting yang ingin disampaikan oleh masyarakat terhadap iklan Tong Fang
Clinic: IKLAN ITU SENDIRI ADALAH SATU LELUCON BESAR!!
Suatu
iklan (dari produk apapun juga), pastilah mengandung unsur JANJI dari si
pengiklan kepada khalayak yang disasarnya. Sungguh sangat disayangkan bahwa
ternyata janji yang ditawarkan oleh iklan Tong Fang Clinic dinilai tidak lebih
dari sekedar lelucon! Dan, tidak perlu berpikir terlalu mendalam untuk memahami
bahwa dibalik ‘lelucon’ yang ada dalam iklan tersebut, masyarakat menilai ada
KEBOHONGAN BESAR.
Dalam
konteks ini, tingkat ‘awareness’ yang tinggi dari iklan Tong Fang Clinic
sebenarnya malah memberikan dampak yang sangat negatif terhadap citra dari
klinik itu sendiri. Cukup mengherankan bahwa pihak klinik Tong Fang tidak
segera melakukan koreksi, bahkan terkesan ‘santai-santai’ saja (baca
Merdeka.com, 9 Agustus 2012 08:06:00: “Diolok-olok di Twitter, ini jawaban
klinik Tong Fang”). Beberapa pemilik akun twitter bahkan sudah ada yang sampai
tingkat ‘marah’ karena mereka sangat memahami bahwa olok-olokan tersebut sangat
menjatuhkan citra klinik Tong Fang. Dan lebih parahnya, dapat dengan sangat
mudah diprediksi, citra ini akan merembet kepada seluruh klinik tradisional
Cina (TCM).
ANALSIS
Tekanan
terhadap kasus di atas tidak saja datang dari masyarakat. Pemerintahpun
akhirnya harus turun tangan.. Misalnya: Merdeka.com pada 9 Agustus 2012
06:47:00 mengangkat artikel “Dinas Kesehatan DKI larang iklan Klinik Tong Fang”
dan Okezone.com pada 8 Agustus 2012 23:46 mengangkat artikel “DPR Soroti Praktik
Klinik Tong Fang”.
Bila
saat ini masyarakat (dan pemerintah) jadi tidak percaya kepada iklan klinik
Tong Fang, siapakah yang akan dirugikan? Pertama-tama mungkin memang hanya akan
berdampak pada klinik Tong Fang dan TCM lainnya. Tapi, dampak ini bila sampai
tidak diatasi dengan segera, akan membuat industri klinik tradisional Cina tidak dapat berkembang,
akibatnya mereka tidak lagi bisa beriklan. Di titik ini, media massa akan
merasakan dampaknya pula.
Sangat
disayangkan bahwa media-massa (khususnya televisi) mengabaikan himbauan dan
teguran yang telah disampaikan oleh KPI untuk menghentikan iklan-iklan TCM yang
provokatif tersebut sejak April 2012 (lihat www.kpi.go.id pada menu Imbauan,
Peringatan dan Sanksi). Stasiun TV hanya berpikir jangka-pendek mengeruk dana
iklan secepat-cepatnya padahal bila iklan tersebut justru akan ‘mematikan’
pengiklannya, maka stasiun TV akan kehilangan pendapatan di masa depannya.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar