Sabtu, 22 Oktober 2016

Bisnis Dengan Promosi Pemasaran Yang Tidak Beretika

Nama : Fadlan Pramudito
NPM : 13213052
Kelas : 4EA17
PENDAHULUAN

Prinsip ekonomi menegaskan bahwa bisnis ‘yang baik’ adalah bisnis yang memberikan banyak untung. Karena semata-mata mengejar untung (profiteering),  perusahaan seringkali bertindak tidak etis. Agar biaya produksi murah, ada perusahaan yang menggunakan tenaga kerja anak-anak, memberlakukan jam kerja panjang dan gaji rendah, atau sistem kerja kontrak untuk menghindari tunjangan dan pesangon. Demikian pula, untuk meningkatkan penjualan, sejumlah perusahaan menerapkan cara-cara promosi yang tidak jujur. Ada toko yang menggunakan strategi ‘bait and switch’ yaitu merangsang calon pembeli dengan produk murah, yang sebenarnya tidak tersedia, dan  mendorong calon konsumen membeli produk lain dengan harga lebih tinggi. Sejumlah ‘content provider’ telepon seluler menjebak konsumen dengan sistem sedot pulsa otomatis, yang merampas pulsa konsumen tanpa bisa menghentikannya.

Sebenarnya perilaku tidak etis juga sangat dekat dengan lingkungan kita. Kita sering ‘dipaksa’ membeli permen sebagai ganti uang kembalian saat kita berbelanja di toko. Saat kita membeli bensin, petugas SPBU seringkali ‘merampok’ selisih harga pembelian. Dengan alasan pembulatan, sejumlah rumah sakit memaksa kita ‘mengikhlaskan’ membayar sekian ratus rupiah lebih tinggi dari tagihan semestinya.  Rupanya, perilaku koruptif sudah menjangkiti hampir semua bidang kehidupan sosial ekonomi kita. Semuanya dilandasi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya!

TEORI

Menurut Bertens (2000), bisnis yang tidak melanggar hukum, belum tentu tidak melanggar moralitas. Etika diperlukan untuk melengkapi hukum karena lima alasan: (a) hokum tidak mengatur segala sesuatu, (b) hukum sering kalah cepat dari perkembangan bisnis; (c) hukum selalu memiliki celah yang bisa disalahgunakan; (d) hukum sering tidak ditegakkan; dan (e) ketentuan hukum seringkali memiliki multi-tafsir. Buku Pedoman Prinsip dan Penilaian Bisnis Beretika Berkelanjutan LOS DIY (2007) menyebutkan bahwa ketaatan pada hukum atau peraturan hanyalah salah satu dari 8 indikator etika. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang taat pada peraturan atau hukum, transparan, akuntabel, bertanggungjawab, wajar, jujur,  berempati, dan independen. Indikator ketaatan pada hukum dan aturan  lebih mudah diukur daripada ketujuh indikator lain. Masalahnya, bagaimana kita bisa mengatakan suatu perusahaan telah bersikap jujur, wajar, dan bertanggungjawab?

Oleh karena itu, untuk menilai apakah suatu bisnis itu etis atau tidak, Bertens (2000) mengemukakan  tiga tolok ukur etika bisnis: (a) hati nurani; (b) empati; dan (c) audit sosial. Bisnis yang baik selalu didasarkan pada hati nurani (yang baik). Hati nurani menuntun kita memilih yang baik, dan menghindari yang buruk. Empati menuntun kita untuk memperlakukan orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan (empati).  Ini sejalan dengan pepatah bijak, “jangan mencubit orang lain bila kita tidak ingin dicubit”. Audit sosial, atau penilaian oleh masyarakat, mensyaratkan bahwa suatu bisnis disebut baik bila menurut pendapat umum adalah baik. Masihkah kita punya hati nurani dan empati dan bisakah audit sosial berperan dalam pencegahan perilaku tidak beretika? Mari kita tegakkan bersama! Supriyono

KASUS
Pada rapatnya di bulan November 2011, Badan Pengawas Periklanan (BPP) P3I telah menemukan satu kasus iklan Traditional Chinese Medication (TCM) yaitu iklan Cang Jiang Clinic. BPP P3I saat itu menilai bahwa iklan tersebut berpotensi melanggar Etika Pariwara Indonesia, khususnya terkait dengan:  Bab III.A. No.2.10.3. (tentang Klinik, Poliklinik dan Rumah Sakit) yang berbunyi: “Klinik, poliklinik, atau rumah sakit tidak boleh mengiklankan promosi penjualan dalam bentuk apa pun” dan Bab III.A. No.1.17.2. (tentang Kesaksian Konsumen) yang berbunyi: “Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya”.
Pada iklan Cang Jiang Clinic tersebut ditampilkan pemberian diskon (30%) bagi pembelian obat serta ditampilkan pula beberapa kesaksian konsumen mereka yang sangat tendensius melebih-lebihkan kemampuan klinik tersebut serta bersifat sangat provokatif yang cenderung menjatuhkan kredibilitas pengobatan konvensional.
Untuk memastikan adanya pelanggaran terseut, maka BPP P3I telah mengirimkan surat kepada Persatuan Rumah-Sakit Indonesia (PERSI) dan mendapatkan jawaban bahwa PERSI sependapat dengan BPP P3I sehingga pada bulan Maret 2012, BPP P3I telah mengirimkan surat himbauan kepada KPI untuk menghentikan penayangan iklan tersebut.
Masalah Cang Jiang Clinic ini belum tuntas, ketika lalu muncul iklan Tong Fang Clinic yang jauh lebih gencar (dan ditayangkan di lebih banyak stasiun televisi dan dengan frekuensi yang jauh lebih sering).  Isi pesan iklannya sangat mirip dengan iklan Cang Jiang Clinic. BPP P3I kemudian melayangkan surat himbauan yang senada kepada KPI pada bulan Juli 2012.
Sepanjang bulan Juli 2012, iklan Tong Fang Clinic ternyata sangat ramai menjadi pergunjingan masyarakat umum; baik melalui media-media sosial maupun pengiriman SMS dan Blackberry Messenger. Bahkan, kata kunci “Tong Fang” sempat menjadi topik yang paling sering disebut (‘trending topic’) di twitter, bukan saja di area Indonesia, tapi di seluruh dunia (lintas.me, 6 Agustus 2012).
Dari sudut ilmu komunikasi, bisa saja orang lalu menilai bahwa klinik tersebut telah mendapatkan tingkat ‘awareness’ yang sangat tinggi. Hal tersebut memang tidaklah dapat dibantah. Jutaan kicaun masyarakat tersebar di berbagai jenis media terkait dengan iklan klinik tersebut. Tapi, mari kita coba lihat isi dari beberapa kicauan tersebut (dikutip dari beberapa posting di twitter).
Ø  Dulu muka saya ada jerawat satu, seteleh ke klinik Tong Fang muka saya jd bnyak jerawat.Trimakasih TongFang
Ø  Dulu pacar saya di rebut orang, namun setelah saya ke klinik TongFang sekarang saya jd rebutan pacar orang, terima kasih TongFang
Ø  Dulu saya Raja Dangdut, setelah ke Klinik Tong Fang kini saya jadi Raja Singa. Terima Kasih Tong Fang
Di twitter juga muncul banyak akun baru yang sekedar bertujuan untuk mengakomodasi lelucon tentang “Tong Fang”. Misalnya: akun @KlinikTongfang dengan 15.218 pengikut dan @KliinikTongFang dengan 61,091 pengikut (data pengikut/’follower’ terhitung tanggal 9 Agustus 2012) serta banyak akun lainnya. Padahal akun-akun itu usianya belum lebih dari 2 bulan.
Apakah kicauan masyarakat tersebut sebenarnya hanya sekedar ‘iseng’ dan semacam jadi ‘lomba kreatifitas’ mereka saja? Saya sangat percaya bahwa bukan itu permasalahannya.
Tidak perlu menjadi seorang pakar komunikasi untuk memahami bahwa dibalik lelucon-lelucon yang dikreasikan oleh berbagai kalangan masyarakat, ada satu pesan penting yang ingin disampaikan oleh masyarakat terhadap iklan Tong Fang Clinic: IKLAN ITU SENDIRI ADALAH SATU LELUCON BESAR!!
Suatu iklan (dari produk apapun juga), pastilah mengandung unsur JANJI dari si pengiklan kepada khalayak yang disasarnya. Sungguh sangat disayangkan bahwa ternyata janji yang ditawarkan oleh iklan Tong Fang Clinic dinilai tidak lebih dari sekedar lelucon! Dan, tidak perlu berpikir terlalu mendalam untuk memahami bahwa dibalik ‘lelucon’ yang ada dalam iklan tersebut, masyarakat menilai ada KEBOHONGAN BESAR.
Dalam konteks ini, tingkat ‘awareness’ yang tinggi dari iklan Tong Fang Clinic sebenarnya malah memberikan dampak yang sangat negatif terhadap citra dari klinik itu sendiri. Cukup mengherankan bahwa pihak klinik Tong Fang tidak segera melakukan koreksi, bahkan terkesan ‘santai-santai’ saja (baca Merdeka.com, 9 Agustus 2012 08:06:00: “Diolok-olok di Twitter, ini jawaban klinik Tong Fang”). Beberapa pemilik akun twitter bahkan sudah ada yang sampai tingkat ‘marah’ karena mereka sangat memahami bahwa olok-olokan tersebut sangat menjatuhkan citra klinik Tong Fang. Dan lebih parahnya, dapat dengan sangat mudah diprediksi, citra ini akan merembet kepada seluruh klinik tradisional Cina (TCM).

ANALSIS
Tekanan terhadap kasus di atas tidak saja datang dari masyarakat. Pemerintahpun akhirnya harus turun tangan.. Misalnya: Merdeka.com pada 9 Agustus 2012 06:47:00 mengangkat artikel “Dinas Kesehatan DKI larang iklan Klinik Tong Fang” dan Okezone.com pada 8 Agustus 2012 23:46 mengangkat artikel “DPR Soroti Praktik Klinik Tong Fang”. 
Bila saat ini masyarakat (dan pemerintah) jadi tidak percaya kepada iklan klinik Tong Fang, siapakah yang akan dirugikan? Pertama-tama mungkin memang hanya akan berdampak pada klinik Tong Fang dan TCM lainnya. Tapi, dampak ini bila sampai tidak diatasi dengan segera, akan membuat industri klinik  tradisional Cina tidak dapat berkembang, akibatnya mereka tidak lagi bisa beriklan. Di titik ini, media massa akan merasakan dampaknya pula.        
Sangat disayangkan bahwa media-massa (khususnya televisi) mengabaikan himbauan dan teguran yang telah disampaikan oleh KPI untuk menghentikan iklan-iklan TCM yang provokatif tersebut sejak April 2012 (lihat www.kpi.go.id pada menu Imbauan, Peringatan dan Sanksi). Stasiun TV hanya berpikir jangka-pendek mengeruk dana iklan secepat-cepatnya padahal bila iklan tersebut justru akan ‘mematikan’ pengiklannya, maka stasiun TV akan kehilangan pendapatan di masa depannya.

REFERENSI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar